Kalau ada yang bilang sekolah itu tempat ilmu, betul. Tapi hari ini SMK Putra Bangsa juga berubah jadi catwalk kebangsaan, panggung talenta, dan sedikit… festival budaya dadakan. Semua demi memperingati dua momen besar yang digabung jadi satu: Hari Sumpah Pemuda + Hari Pahlawan. Biar sekalian rame, sekalian heboh, sekalian capek panitianya.
Acara dibuka dengan unjuk bakat dari perwakilan setiap kelas. Yang tadinya konsep acara “presentasi masakan”—iya, masakan—mendadak diputar haluan jadi “unjuk bakat” karena… yah, mungkin panitia sadar: kalau anak-anak disuruh masak, yang ada UKS penuh. Dan ternyata keputusan ini on point banget. Pesertanya variatif: ada yang nyanyi sampai falsetonya bikin merinding, ada yang baca puisi dengan aura pahlawan patah hati, ada yang nari, ada yang pencak silat lengkap dengan jurus-jurus yang bikin juri merem melek, bahkan ada yang tampil kuda lumping. Iya, kuda lumping. Di sekolah. Di acara resmi. Mantap sekali.
Terus masuk ke sesi yang selalu jadi primadona: fashion show. Setiap kelas kirim modelnya, lengkap dengan busana adat yang udah disetrika, dipermak, dipinjam, atau dipaksa masuk meskipun ukurannya sejelimet laporan praktik. Semua siswa dan guru tampil dengan pakaian adat. Keren sih, cantik sih, gagah sih… tapi ayo jujur: kayaknya baju adat ini udah jadi seragam wajib tiap ada event.
17 Agustus: baju adat.
Ultah sekolah: baju adat.
Kartini: baju adat.
Sumpah Pemuda: baju adat.
Hari Pahlawan? Yup, baju adat.
Padahal kan kalau Hari Pahlawan, seru juga kalau semua cosplay jadi pahlawan nasional—ada yang jadi Patimura sambil bawa parang (replika ya, jangan asli), atau jadi Cut Nyak Dhien dengan tatapan maut yang bisa nembus jiwa. Tapi ya sudahlah… evaluasi acara tahun depan.
Walaupun begitu, fashion shownya tetap pecah. Banyak yang tampil kayak model beneran: ada yang jalannya lembut kayak iklan sampo, ada yang percaya diri banget sampai-sampai guru pun pengen nanya “kamu kelas berapa sih kok gaya runway-nya profesional amat?”
Yang jelas, acara hari ini sukses menyatukan dua momen bersejarah jadi satu festival super meriah. Anak-anak tampil maksimal, guru-guru pun ikutan heboh, dan sekolah mendadak berasa kayak mini-Indonesia versi lebih bising.
Akhirnya, kita sadar satu hal: semangat kepemudaan itu bukan cuma soal sejarah yang dibacakan, tapi tentang keberanian tampil, berkarya, dan barengan bikin suasana jadi lebih hidup.
Dan untuk panitia, terima kasih. Tahun depan tolong siapin tema baju pahlawan ya. Capek juga lihat baju adat berputar-putar dari agenda ke agenda.
