Karya : Atika Malida
Ku hentakkan tungkai ku dalam lamunan sepi
Layaknya gembala di pulau tanpa penghuni
Pantas kah ku berharap ada secercah kebahagiaan yang bersembunyi
Perasaan yang mustahil terpulihkan oleh segala ceraki
Bagaskara menonton ku gundah gulita
Bersama para kawan nya, sang harsa yang hilang
Seolah ku pantas untuk menjadi figur penampil
Seolah ku pantas menjadi ikon yang terdambakan
Dalam perjamuan penuh gelak tawa, aku berpijak
Berharap binar lampu tembak menyoroti ku di atas mimbar
Segenap pandangan kagum menunjuk ku
Dan aku menjadi citra anindita dalam pesta
Ayunan lubang dari suling yang mendayu-dayu
Nada slendro dari tabuhan gamelan sekeras batu
Tarian angklung bambu dari sora
Rencang keris melalui ukiran pusaka
Segera membangkitkan nyenyaknya fantasi ku
Menjemputku dari bayang oleh lintang gemulai
Menghidupkan ku kembali dalam sosok baru
Dari lamanya hidup dalam bayang-bayang halai balai
Bakul rotan menyimpan sejuta kisah leluhur
Yang semestinya tak akan melebur
Namun hati ini pupus ketika itu terancam hancur
Berpijak di atas perapian kultur
Masih ku pijakkan kaki ku di tanah air
Tanah sejuta bongkahan harta karun dalam pasir
Berton-ton emas mengkilap
Berbarel-barel minyak sekejap
Mengubah manusia menjadi makhluk yang kalap
Masih ku berdiri di bumi Pertiwi
Bukit-bukit menjulang tinggi
Yang menyimpan kisah leluhur sejuta memori
Sampai pada hamparan menguningnya padi
Terukir dalam ukiran batik Cemukiran
Semangat merah putih warisan kebudayaan
Kepada mu, surat cinta untuk sastra
Mewakili dinamika pancawarna Garuda
Irama “Sajojo” yang juwita membawa ku mengitari Nusantara
Seelok goresan lukisan Pangeran Dipanegara
Sesempurna tulisan sastra goresan pena Pramoedya Ananta
Berdentang dari garis Sabang sampai Merauke
Dari Miangas lalu berhenti di Rote
Tanah air Indonesia abadi dalam daksa
Berwujud hasta karya
Layaknya kisah para dayita
Kami kaya, kami cukup untuk mewarnai dunia