Pro Kontra Soal Pendidikan "Gemulai" oleh TNI/Polri

0



Beberapa hari terakhir, lini masa Bontang mendadak rame. Penyebabnya? Pernyataan Walikota yang berencana mendata siswa laki-laki dengan perilaku gemulai untuk kemudian mendapat pembinaan dari TNI/Polri.

Topik ini langsung jadi bahan obrolan dari warung kopi sampai grup WhatsApp keluarga.


Nah, daripada cuma ikut riuh, kita ke SMK Putra Bangsa buat denger langsung tanggapan dari pihak sekolah. Biar jelas, bukan katanya-katanya doang.


Pak Muslimin: “Kami mendukung, tapi harus jelas teknisnya.”

Kepala Sekolah SMK Putra Bangsa, Pak Muslimin, bilang bahwa pihak sekolah pada dasarnya setuju dengan arahan Walikota ini.
Beliau juga sudah komunikasi dengan Ketua Yayasan, dan hasilnya sama: sekolah siap mengikuti anjuran tersebut.

Tapi ada hal yang perlu dicatat:

Program ini masih dalam tahap pembahasan internal.
Tidak diumumkan terbuka, tidak langsung bergerak, dan tidak asal mendata.

Dalam pandangan beliau, perilaku gemulai ini tidak terkait fisik, tapi lebih ke psikis, mental, dan lingkungan pergaulan. Dan iya, menurut beliau, sifat ini bisa menular lewat circle, kebiasaan, dan stimulus sosial.


Karena itu, sekolah tidak menolak pembinaan dari pihak TNI/Polri, namun:

Teknis pelaksanaannya sekolah belum tahu.
Soalnya belum ada surat atau instruksi resmi yang turun.


Sementara menunggu kejelasan, guru BK sudah mulai observasi dan mencatat perkembangan karakter siswa. Tenang, ini bukan razia atau stigma. Lebih ke pengamatan keseharian.

Tapi tetap ada kekhawatiran dari pihak sekolah jika program ini jadi dijalankan pertama jangan sampai malah jadi bahan bully dari teman, kedua jangan sampai siswa merasa terasingkan, dan yang terakhir jangan sampai tidak ada perubahan sampai mereka lulus.

Intinya, tujuannya pembinaan, bukan penghakiman.



Bu Ica (Guru BK): “Yang kita hadapi ini soal jati diri.”

Bu Ica jujur bilang, ada rasa sedih melihat isu ini sampai perlu dibawa ke ranah TNI/Polri.
Menurut beliau, ini menunjukkan bahwa ada siswa yang sedang mengalami krisis identitas—dan itu bukan hal sepele.

Kadang masalahnya bukan cuma di sekolah.
Bisa jadi:

  • pengalaman masa kecil,

  • pola asuh,

  • dinamika keluarga,

  • sampai hal-hal yang terjadi sebelum mereka masuk SMK.

“Tugas guru BK itu membantu siswa memahami dirinya, bukan langsung mengubah. Pelan-pelan, sambil mendampingi,” ujar beliau.

Fokusnya bukan “melarang menjadi ini atau itu”.
Tapi mengembalikan siswa mengenali jati dirinya dengan sehat, tanpa tekanan, tanpa rasa takut, tanpa dihina.


Bu Vivi (Kesiswaan): “Pembinaan itu yang paling baik dimulai dari lingkungan terdekat.”

Bu Vivi punya pandangan berbeda sedikit soal pelibatan TNI/Polri.

Beliau khawatir:

  • kalau penanganan terlalu keras,

  • atau terlalu formal,

  • siswa yang rentan justru makin takut, atau malah makin tertekan.

Dan tekanan = rawan bullying.

Menurut Bu Vivi, langkah pertama yang paling bijak adalah:
konseling, pendekatan personal, dan pembiasaan lingkungan yang suportif.

Di SMK Putra Bangsa sendiri, siswa dengan kecenderungan gemulai bukan lagi bahan bisik-bisik.
Guru-guru sudah tahu, sudah paham, dan fokusnya adalah membimbing, bukan mempermalukan.


Kesimpulan yang Pelan tapi Jelas:

Isu ini besar, sensitif, dan penuh sudut pandang.
Ada yang melihat ini sebagai langkah pembinaan.
Ada yang melihat ini sebagai refleksi soal pendidikan karakter.

Tapi SMK Putra Bangsa memilih langkah yang menurut kita paling waras:
tenang, observasi, dampingi, dan menunggu teknis yang jelas.

Karena pada akhirnya:

Sekolah bukan tempat menghakimi siapa kamu, tapi tempat kamu belajar jadi versi terbaik dirimu.

Dan tugas kita sebagai manusia?
Ya itu—belajar memahami sebelum bicara, mendengar sebelum mengejek, mendampingi tanpa merendahkan.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default