Ada satu fenomena sosial yang entah kenapa makin hari makin keliatan: orang-orang yang kalau beli HP, pilihannya cuma dua… iPhone atau iPhone. Bukan karena dia butuh kameranya, bukan karena dia ngerti chipset, bukan karena dia editor film kelas Marvel. Enggak. Alasannya simpel: biar keliatan beda. Dan lucunya, yang beda bukan hp-nya, tapi sikapnya.
Ada yang tiba-tiba kalau liat orang buka hp Android langsung muncul tatapan kasihan yang biasanya cuma dikeluarkan pas ada temen jatuh dari motor tapi pura-pura nggak papa. Tatapan “oh… kamu masih di situ ya…” padahal yang ngomong paket datanya aja masih pinjem tethering.
Yang lebih menarik itu kalau lagi foto bareng. Misalnya ada momen penting, semua orang bahagia, mau mengabadikan memori. Lalu kamera yang kebetulan ada: Android. Tiba-tiba orang yang pake iPhone mendadak jadi kurator seni digital internasional. “Eh jangan pake itu, nanti hasilnya pecah. Pake aku aja.” Wuuuh, langsung berubah atmosfernya. Seolah-olah kualitas kebahagiaan manusia tergantung seberapa tajam pori-pori wajah terlihat. Padahal setelah difoto, fotonya juga cuma masuk status 24 jam lalu hilang. Tidak akan masuk museum Louvre juga.
Belum lagi kalau lagi ngisi daya. Baterai Android tinggal 5 persen, udah deg-degan itu. Tapi begitu yang megang iPhone bilang “Eh aku 20 persen, darurat,” langsung semua orang ngalah. Kayak hidup orang yang pake iPhone ini ada plot penting yang nggak boleh terputus. Padahal isinya cuma scroll TikTok, like foto kucing, sama ngetik: “hahaha iya” lima kali.
Intinya bukan soal iPhone-nya. iPhone itu bagus, jelas. Tapi ketika HP berubah jadi identitas, ketika nilai diri orang ditentukan dari logo buah kegigit di belakang casing, yang sebenarnya perlu di-charge bukan baterainya, tapi rasa percaya dirinya dulu. Soalnya kalo hidupmu cuma keren saat hp-mu dikeluarin, berarti yang bersinar itu bukan kamu. Itu cuma pantulan glossy casing-nya.