Pagi ini SMK Putra Bangsa agak adem, tapi bukan karena AC—melainkan karena jumlah yang terlambat akhirnya nggak sebanyak kemarin. Ya lumayan lah, dari yang biasanya kaya antre minyak goreng pas awal pandemi, sekarang jadi cuma setengah barisan senam massal. Progres, bestie. Progres.
Tapi tetep ya… masih ada aja yang datang sambil lari-lari kayak atlet 100 meter tapi sudah pasrah kalah. Dari kelas X sampai XII semua lengkap, kaya lagi ngikut lomba karnaval “Siapa yang bangun paling mepet.”
Yang beda kali ini adalah yang ngurus bukan Bu Vivi, bukan Bu Ica… tapi Pak Tri turun langsung, bro. The boss battle unlocked.
Dan Pak Tri ini bukan tipe yang ngomong panjang sampai ngantuk—ingat, beliau itu efisien. “Kelas 12, jangan diulang lagi.” Udah. Kena mental. Karena ya bener juga… kelas 12 itu tinggal menghitung hari menuju ujian, masa bangun pagi aja masih kalah sama alarm?
Dan yang paling bikin kening semua orang naik satu senti adalah:
Wakil Ketua OSIS ikut terjaring.
Wah, wah, wah…
Ini kalau di drama Korea udah masuk episode konflik internal organisasi sekolah.
Harusnya jadi role model, malah jadi cameo razia pagi.
Ayo dong, ketua-ketuaan itu bukan cuma buat masuk CV, ya…
Tapi tenang, hukuman tetap berjalan dengan damai dan menyentuh bumi (secara literal), yaitu:
-
Bersih-bersih area sekolah
-
Merapikan parkiran
-
Dan merenungi pilihan hidup selama 15 menit tanpa background music
Sebenarnya hukuman ini bukan cuma tentang nyapu atau ngangkat motor yang parkirnya kayak cacing kepanasan. Ini tentang kebiasaan.
Karena kalau pagi aja sudah chaos, nanti hidup setelah lulus bisa lebih chaos lagi.
Disiplin itu bukan buat guru. Bukan buat nilai. Tapi buat diri sendiri.
Walaupun iya, kita semua ngerti, teori itu paling gampang diucap pas udah kena hukuman dulu.
Tapi ya sudahlah…
Hari ini lebih baik dari kemarin.
Dan kalau besok lebih baik lagi, itu namanya kemajuan.
Kalau besok sama aja… ya siap-siap ketemu Pak Tri lagi.
